Melihat Tantangan Advokat di Era Digital

https://digilaw.co.id/cache/f7d07a268b4839c7af6461861c222044_x_Thumbnail300.jpg

 Webinar Launching Buku berjudul 'Pengacara Cyber: Profesi Hukum Kaum Milenial' di Jakarta, Selasa (2/6). Foto: RFQ 

Hukumonline - Di era digital profesi apapun harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi termasuk profesi advokat. Seiring pesatnya kemajuan teknologi di era digital ini menuntut profesi advokat/pengacara dari organisasi advokat manapun mengembangkan kemampuan diri terhadap perkembangan teknologi atau lazim disebut cyber lawyer. Lantas apa tantangan bagi pengacara siber di era semakin pesatnya teknologi digital?

Dalam rangka memperingati hari jadi Kongres Advokat Indonesia (KAI) ke-12, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta St. Laksanto Utomo meluncurkan sebuah buku berjudul Pengacara Cyber: Profesi Hukum Kaum Milenial. Buku setebal 181 halaman ini intinya sebagai panduan bagi advokat sebagai praktisi hukum di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan informasi di era digital.

Melalui berbagai aplikasi teknologi informasi membuat berbagai hal dalam kehidupan menjadi mudah, murah, efisien, dan efektif. Misalnya, komunikasi digital atau virtual tak mengharuskan kehadiran fisik menjadi pola baru, apalagi di tengah pandemi Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir. Penulis berharap melalui bukunya ini dapat mengubah cara pandang advokat konvensional terutama dalam memberi bantuan hukum bagi pencari keadilan.

“Buku ini hadir ketika muncul kesadaran masyarakat atas pesatnya kemajuan teknologi informasi, sehingga mengubah berbagai bidang kehidupan termasuk bidang hukum,” ujar Laksanto dalam sebuah Webinar Launching buku tersebut, Selasa (2/6/2020). (Baca Juga: Usia ke-12, Ini Dia Fokus Kongres Advokat Indonesia)

Buku berisi 9 bab ini menggambarkan sejumlah perubahan kompleks akibat pesatnya teknologi informasi yang berpengaruh dalam praktik hukum sekaligus tantangan bagi profesi advokat/pengacara terutama kaum milenial. Bab I, memperkenalkan profesi advokat. Bab II, perlunya seorang advokat menjadi pebisnis yang efektif serta mampu berinteraksi dengan klien dan kolega secara baik.

Bab III, membahas advokat Indonesia dalam masa pancaroba yang ditandai adanya perubahan yang dipicu oleh tiga hal yakni reformasi hukum dalam pembentukan negara hukum; liberalisasi pelayanan hukum; serta teknologi informasi (TI) dengan munculnya penggabungan antara teknologi komputer dan komunikasi yang menggulingkan tirani jarak dan waktu.

Bab IV, membahas perubahan yang disebabkan oleh munculnya teknologi informasi yang memaksa advokat, mau tak mau menyesuaikan dengan dinamika hukum dan teknologi yang sedang berproses secara masif. Bab V, mengurai aplikasi teknologi informasi serta menggambarkan dampak kemajuan teknologi dalam berbagai hal kehidupan yang semakin mudah, murah, dan efektif.

Bab VI, mengulas pendidikan advokat dan lima kompetensi inti yang perlu dimiliki advokat. Mulai kemampuan berkolaborasi; kecerdasan emosional; kemampuan manajemen proyek; kemampuan manajemen waktu; dan penguasaan teknologi informasi. Bab VII, menginformasikan kembali tentang keharusan advokat memberi konsultasi dan bantuan hukum. Termasuk menjalankan kuasa, mewakili, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bab VIII, mengurai etika profesi yang harus diikuti advokat selama menjalankan profesinya. Bab IX, menjadi bagian akhir mengurai organisasi profesi advokat di Indonesia. Laksanto menerangkan bab per bab mengurai secara detil cakupan soal keharusan advokat “berkawan” dengan teknologi. “Semua bab per bab saling berhubungan, sehingga menjadi pencerahan untuk me-refreshing kembali,” katanya.

Menanggapi buku Laksanto, Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Achmad Setyo Pudjoharsoyo mengatakan setelah membaca buku tersebut semua tatanan berubah. Seperti aktivitas koordinasi atau bernegoisasi tak lagi mengharuskan bertatap muka. MA pun sudah mulai menuju peradilan digital, seperti e-court dan e-litigasi berdasarkan Peraturan MA yang telah diterbitkan. Dia menilai buku Laksanto menjadi pemantik menyadarkan praktisi hukum akan pentingnya memanfaatkan teknologi yang tak melulu harus bertemu langsung dengan klien.

“Buku ini menyadarkan kita, saatnya dunia hukum dan peradilan harus bergerak melek teknologi informasi. Seperti berkurangnya kontak fisik antara hakim, pengacara, ataupun pencari keadilan. Ini akan mengurangi ekses (negatif, red) anggapan pengadilan koruptif,” kata dia.

Menurutnya, buku tersebut menjadi panduan bagi pengacara muda ataupun senior. Apalagi melalui e-court dan e-litigasi mulai menggunakan sistem peradilan online. “Buku ini menjadi tolak ukur pengacara milenial dalam memberi layanan bantuan hukum bagi pencari keadilan.”

Ada kekurangan

Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menilai buku tersebut mengurai detil tantangan profesi advokat di era milenial. Hanya saja, buku ini belum mencantumkan profil advokat atau kantor hukum yang sejak awal berdiri mengadopsi teknologi kegiatan pemberian layanan hukum. Seperti mengembangkan internet sebagai bagian basis teknologi informasi di kantor hukumnya.

Dia juga mengingatkan dunia digital tak selamanya bernilai positif, tetapi ada hal negatif yang perlu diwaspadai. Misalnya, dalam persidangan e-litigasi, seorang advokat memberi materi jawaban melalui digital. Tapi, bukan tidak mungkin jawaban yang dikirimkan advokat tersebut diretas. “Ini harus diantisipasi, ekses negatif ini bisa dieliminir. Kira-kira buku ini, apakah mengurai dampak negatifnya?”

Ketua Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Borobudur Prof Faisal Santiago menilai pandemi Covid-19 mengubah budaya hukum masyarakat Indonesia dalam hal pemanfataan teknologi. Karena itu, terbitnya buku ini menambah pemikiran advokat dalam untuk menyesuaikan diri tentang pentingnya memanfaatkan teknologi di era milenial. Termasuk mengembangkan digital marketing bagi kantor hukum.

“Kekurangan buku ini tidak memberi sampel pengacara dan kantor hukum mana saja yang telah memanfaatkan dan menggunakan digital. Tetapi saya tahu persis yang up to date dengan teknologi adalah KAI. Sekarang zamannya menggunakan digital. Ini sesuatu yang luar biasa dalam buku ini. Tinggal bagaimana teman-teman advokat ini bisa menyikapinya,” ujarnya.

Dia juga mengkritisi Bab VIII terkait penjabaran etika profesi advokat yang menjadi menarik di tengah era digital. Sayangnya, dalam buku tersebut tidak menggali bagaimana etika digital dalam etika profesi advokat. “Tetapi secara keseluruhan saya senang dengan buku ini. Saya sudah baca seluruhnya, jadi saya tahu arah Pak Laksanto menulis buku ini. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi teman-teman advokat.”

Sumber Berita : HUKUMONLINE